Makalah maysir gharah riba batil

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena berkat limpahan rahmat dan hidayahlah, sehingga penulis dapat menyusun makalah ini, meski penulis sadari bahwa makalah ini masih jauh dari kesempurnaan baik dari segi bahasa, penulis dan penyusunannya.

Adapun dalam penyusunan makalah ini penulis memperoleh data / sumber dari media online ‘ internet ’ dan menjelaskan tentang “ MAGHRIB (Maysir, Gharah, Riba, Bathil) ”.

Penulis berharap apa yang tercantum dalam makalah ini, bisa menjadi pelajaran dan menambah wawasan buat pembaca dan terutama buat diri penulis sendiri.

Kritik dan saran yang bertujuan membangun dari para pembaca, penulis akan terima dengan senang hati, untuk penulisan makalah yang lebih baik lagi.

Tangerang, 23 September 2014

Penulis

  • Ricko Aulia Hudaya
  • Yasrilinur
  • Hendra Yulianto

Daftar Isi

Daftar Pustaka                                                                                                                          1

Daftar Isi                                                                                                                                  2

BAB I Pedahuluan                                                                                                                    3

Rumusan Masalah                                                                                                         4

BAB II Pembahasan                                                                                                                 5

Maisyir                                                                                                             5

Gharar                                                                                                                          7

Riba                                                                                                                             12

Bhatil                                                                                                                            15

BAB III Penutup                                                                                                                      19

Kesimpulan                                                                                                                  19

Daftar Pustaka                                                                                                              20


BAB I

PENDAHULUAN

Fiqh Muamalat hukumnya, semua aktifitas itu pada awalnya adalah boleh selama tidak ada dalil yang melarangnya, inilah kaidah ushul fiqhnya. Fiqh Muamalat pada awalnya mencakup semua aspek permasalahan yang melibatkan interaksi manusia, seperti pendapat Wahbah Zuhaili, hukum muamalah itu terdiri dari hukum keluarga, hukum kebendaan, hukum acara, perundang-undangan, hukum internasional, hukum ekonomi dan keuangan. Tapi, sekarang Fiqh Muamalat dikenal secara khusus atau lebih sempit mengerucut hanya pada hukum yang terkait dengan harta benda.

Begitu pentingnya mengetahui Fiqh ini karena setiap muslim tidak pernah terlepas dari kegiatan kebendandaan yang terkait dengan pemenuhan kebutuhannya. Maka dikenallah objek yang dikaji dalam fiqh muamalat, walau para fuqaha (ahli fiqih) klasik maupun kontemporer berbeda-beda, namun secara umum fiqh muamalah membahas hal berikut : teori hak-kewajiban, konsep harta, konsep kepemilikan, teori akad, bentuk-bentuk akad yang terdiri dari jual-beli, sewa-menyewa, sayembara, akad kerjasama perdagangan, kerjasama bidang pertanian, pemberian, titipan, pinjam-meminjam, perwakilan, hutang-piutang, garansi, pengalihan hutang-piutang, jaminan, perdamaian, akad-akad yang terkait dengan kepemilikan: menggarap tanah tak bertuan, ghasab (meminjam barang tanpa izin – edt), merusak, barang temuan, dan syuf’ah (memindahkan hak kepada rekan sekongsi dengan mendapat ganti yang jelas).

Setelah mengenal secara umum apa saja yang dibahas dalam fiqh muamalat, ada prinsip dasar yang harus dipahami dalam berinteraksi. Ada 5 hal yang perlu diingat sebagai landasan tiap kali seorang muslim akan berinteraksi. Kelima hal ini menjadi batasan secara umum bahwa transaksi yang dilakukan sah atau tidak, yaitu Maysir, Gharar, Riba, dan Bathil

Rumusan masalah

  1. Apa yang dimaksud Maisyir ?
  2. Apa pengertian Gharar ?
  3. Apa yang dimaksud Riba ?
  4. Apa pengertian Bhatil ?

Tujuan masalah

  1. Agar memahami yang dimaksud Maisyir
  2. Mengetahu pengertian Gharar
  3. Agar mengerti yang dimaksud Riba
  4. Untuk mengetahui pengertian Bhatil

BAB II

PEMBAHASAN

  1. Maysir
  2. Pengertian Maysir

Perkataan Maysir bermaksud memperolehi sesuatu dengan mudah atau memperolehi keuntungan tanpa usaha. Islam melarang semua bentuk urusniaga di mana keuntungan kewangan diperolehi hanya berdasarkan nasib atau spekulasi dan bukannya dengan usaha gigih untuk mendapatkannya.

Kata Maysir dalam bahasa Arab arti secara harfiah adalah memperoleh sesuatu dengan sangat mudah tanpa kerja keras atau mendapat keuntungan tanpa bekerja. Yang biasa juga disebut berjudi. Istilah lain yang digunakan dalam al-Quran adalah kata `azlam` yang berarti perjudian.

Judi dalam terminologi agama diertikan sebagai “suatu transaksi yang dilakukan oleh dua pihak untuk pemilikan suatu benda atau jasa yang mengguntungkan satu pihak dan merugikan pihak lain dengan cara mengaitkan transaksi tersebut dengan suatu tindakan atau kejadian tertentu”.

Agar bisa dikategorikan judi maka harus ada 3 unsur untuk dipenuhi:

  1. Adanya taruhan harta/materi yang berasal dari kedua pihak yang berjudi
  2. Adanya suatu permainan yang digunakan untuk menentukan pemenang dan yang kalah
  3. Pihak yang menang mengambil harta (sebagian/seluruhnya) yang menjadi taruhan, sedangkan pihak yang kalah kehilangan hartanya

Prinsip berjudi adalah terlarang, baik itu terlibat secara mendalam mahupun hanya berperan sedikit saja atau tidak berperan sama sekali, mengharapkan keuntungan semata (misalnya hanya mencuba-cuba) di samping sebagian orang-orang yang terlibat melakukan kecurangan, kita mendapatkan apa yang semestinya kita tidak dapatkan, atau menghilangkan suatu kesempatan. Melakukan pemotongan dan bertaruh benar-benar masuk dalam kategori definisi berjudi.

  1. Hukum Al-Maysir

Al-Quran secara terang-terangnya mengutuk perlakuan tersebut. Oleh yang demikian, niat tidak menghalalkan cara yang mana berjudi untuk membantu orang yang memerlukan adalah tidak membawa kepada alasan yang kukuh untuk menerima ganjaran daripada perjudian (maisir). Perbezaan antara perjudian dan gharar di dalam transaksi ialah telah mengurangkan, dan oleh itu ahli ekonomi telah menyedari akan struktur pada kedua-duanya. Menurut pendapat Ahli Ekonomi Goodman (1995): Pertambahan peningkatan bagi bisnes perjudian di dalam beberapa tahun dilihat melebarkan banyak masalah di dalam Ekonomi Amerika terutamanya kecenderungan perkembangan mengendalikan nasib ekonomi yang dilihat bertentangan dengan asas kemahiran dan kerja sebenar.

(Perjudian)Al-maysir terlarang dalam syariat Islam, dengan dasar al-Quran, as-Sunnah, dan ijma’.Dalam al-Quran, terdapat firman Allah subhanahu wa Ta’ala “Wahai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah termasuk perbuatan syaitan. Maka, jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan.” (Qs. al-Ma’idah: 90)

Dari as-Sunnah, terdapat sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam Shahih al-Bukhari, “Barangsiapa yang menyatakan kepada saudaranya, ‘Mari, aku bertaruh denganmu.’ maka hendaklah dia bersedekah.” (Hr. Bukhari dan Muslim)

Dalam hadits ini, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjadikan ajakan bertaruh–baik dalam pertaruhan atau muamalah–sebagai sebab membayar kafarat dengan sedekah, Ini menunjukkan keharaman pertaruhan. Demikian juga, sudah ada ijma’ tentang keharamannya.Sedangkan dalam terminologi ulama, ada beberapa ungkapan:aitu, semua muamalah yang dilakukan manusia dalam keadaan tidak jelas akan beruntung atau merugi sekali (spekulatif).

Contoh Maysirnya ketika sejumlah orang masing-masing membeli kupon Togel dengan “harga” tertentu dengan menembak empat angka. (Ini sebenarnya tindakan mengumpulkan wang taruhan). Lalu diadakan undian –dengan cara tertentu– untuk menentukan empat angka yang akan keluar. Maka, ini adalah undian yang haram, sebab undian ini telah menjadi bagian aktivitas judi. Di dalamnya ada unsur taruhan dan ada pihak yang menang dan yang kalah di mana yang menang mengambil materi yang berasal dari pihak yang kalah. Ini tak diragukan lagi adalah karakter-karakter judi yang najis.

  1. Gharar
  2. Pengertian Gharar

Maksud al-Gharar ialah “Ketidakpastian”. Maksud ketidakpastian dalam transaksi muamalah ialah: “Terdapat sesuatu yang ingin disembunyikan oleh sebelah pihak dan ianya boleh menimbulkan rasa ketidakadilan serta penganiayaan kepada pihak yang lain”. Menurut Ibn Rush maksud al-Gharar ialah: “Kurangnya maklumat tentang keadaan barang (objek), wujud keraguan pada kewujudkan barang, kuantiti dan maklumat yang lengkap berhubung dengan harga. Ia turut berkait dengan masa untuk diserahkan barang terutamanya ketika wang sudah dibayar tetapi masa untuk diserahkan barang tidak diketahui”. Ibn Taimiyah menyatakan al-Gharar ialah: “Apabila satu pihak mengambil haknya dan satu pihak lagi tidak menerima apa yang sepatutnya dia dapat”.

Al-Gharar ditakrifkan dalam Kitab Qalyubi wa Umairah menyatakan Mazhab Imam Al-Shafie mendefinasikan gharar sebagai: “Satu (aqad) yang akibatnya tersembunyi daripada kita atau perkara di antara dua kemungkinan di mana yang paling kerap berlaku ialah yang paling ditakuti”.

Prof Madya Dr. Saiful Azhar Rosly menyatakan: “Gharar yang dimaksudkan dalam perbahasan sah atau tidak sesuatu kontrak itu merujuk kepada risiko dan ketidakpastian yang berpunca daripada perbuatan manipulasi manusia mengakibatkan kemudaratan ke atas pihak yang dizalimi. Umpamanya dalam jual beli kereta terpakai, pembeli tidak diberitahu tentang keadaan sebenar kenderan tersebut. Setelah selesai perjanjian jual beli, gharar dalam objek jual beli itu boleh dijadikan alasan membatalkan kontrak. Ini kerana gharar itu terhasil daripada perbuatan zalim yang disengajakan”.

Kontrak Insurans mengandungi unsur gharar kerana: “Apabila tidak berlaku tuntutan, satu pihak (syarikat insurans) akan mendapat semua keuntungan (premium) sementara satu pihak lagi (peserta) tidak mendapat sebarang keuntungan”. Keadaan ini bertepatan dengan definisi gharar oleh Ibn Taimiyah yang menerangkan : “Gharar dalam kontrak berlaku apabila satu pihak mendapat keuntungan sementara sebelah pihak lagi tidak menerimanya”.

Menurut laporan Badan Petugas Penubuhan Syarikat Insurans Secara Islam di Malaysia, adalah jelas di dalam kontrak insurans yang diamalkan sekarang mengandungi elemen gharar kerana Ma’kud Alaih (barang) tidak jelas, dan ianya berkait dengan:

  1. Tidak diketahui dengan jelas samada dapat atau tidak bayaran yang dijanjikan.
  2. Tidak diketahui kadar bayarannya.

iii. Tidak diketahui bila masanya.

Badan Petugas menyatakan kewujudan gharar dalam kontrak insurans kerana Kontrak Insurans adalah di atas “Dasar Jual Beli”. Dalam Islam, jika sesuatu itu terlibat dengan muamalah jual beli maka ia mesti memenuhi rukun dan syarat jual beli. Antara rukunnya ialah:

[a] Penjual dan Pembeli

[b] Aqad (Ijab dan Qabul)

[c] Barang (Ma’kud Alaih/Subject Matter)

Apa yang menjadi persoalan sekarang ialah kewujudan ketidakpastian ‘barang’ dalam kontrak insurans kerana syarat barang yang telah ditetapkan oleh Syarak tidak dapat dipenuhi. Bagi Islam, syarat-syarat bagi setiap rukun-rukun tersebut adalah penting dan mesti dipenuhi. Di antara syarat barang yang mesti dipenuhi ialah:

[a] Barang tersebut dapat diserahkan dalam majlis akad.

[b] Masa penyerahannya telah ditetapkan.

[c] Barang tersebut telah ditentukan jenis dan kuantitinya.

[d] Tempat untuk diserahkan barang telah ditentukan.

[e] Bukan barang yang mengandungi unsur-unsur najis dan dilarang Syarak.

Mengenal Jual-Beli Gharar

Menurut bahasa Arab, makna al-gharar adalah, al-khathr (pertaruhan). Sehingga Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah menyatakan, al-gharar adalah yang tidak jelas hasilnya (majhul al-’aqibah). Sedangkan menurut Syaikh As-Sa’di, al-gharar adalah al-mukhatharah (pertaruhan) dan al-jahalah (ketidak jelasan). Perihal ini masuk dalam kategori perjudian. Sehingga , dari penjelasan ini, dapat diambil pengertian, yang dimaksud jual beli ghararadalah, semua jual beli yang mengandung ketidakjelasan; pertaruhan, atau perjudian.

  1. Hukum Gharar

Dalam syari’at Islam, jual beli gharar ini terlarang. Dengan dasar sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits Abu Hurairah yang berbunyi. “Artinya: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang jual beli al-hashah dan jual beli gharar.”

Dalam sistem jual beli gharar ini terdapat unsur memakan harta orang lain dengan cara batil. Padahal Allah melarang memakan harta orang lain dengan cara batil sebagaimana tersebut dalam firmanNya. “Artinya: Dan janganlah sebagian kamu memakan harta sebahagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang batil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebahagian daripada harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu mengetahui.” (Qs. Al-Baqarah: 188)

“Artinya: Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka di antara kamu. Dan janganlah kamu membunuh dirimu ; sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu.” (Qs. An-Nisaa: 29)

Ibnu Taimiyyah menjelaskan, dasar pelarangan jual beli gharar ini adalah larangan Allah dalam Al-Qur’an, yaitu (larangan) memakan harta orang dengan batil. Begitu pula dengan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam beliau melarang jual beli gharar ini.

Pelarangan ini juga dikuatkan dengan pengharaman judi, sebagaimana ada dalam firman Allah. “rtinya: Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamr, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah perbuatan keji termasuk perbuatan setan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan.” (Qs. Al-Maidah: 90)

Sedangkan jula-beli gharar, menurut keterangan Syaikh As-Sa’di, termasuk dalam katagori perjudian. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah sendiri menyatakan, semua jual beli gharar, seperti menjual burung di udara, onta dan budak yang kabur, buah-buahan sebelum tampak buahnya, dan jual beli al-hashaah, seluruhnya termasuk perjudian yang diharamkan Allah di dalam Al-Qur’an.

  1. Pentingnya mengenal kaedah Gharar

Dalam masalah jual beli, mengenal kaidah gharar sangatlah penting, karena banyak permasalahan jual-beli yang bersumber dari ketidak jelasan dan adanya unsur taruhan di dalamnya. Imam Nawawi mengatakan: “Larangan jual beli gharar merupakan asas penting dari kitab jual-beli. Oleh karena itu Imam Muslim menempatkannya di depan. Permasalahan yang masuk dalam jual-beli jenis ini sangat banyak, tidak terhitung.”

  1. Jenis Gharar

Dilihat dari peristiwanya, jual-beli gharar bisa ditinjau dari tiga sisi.

Pertama: Jual-beli barang yang belum ada (ma’dum), seperti jual beli habal al habalah (janin dari hewan ternak).

Kedua: Jual beli barang yang tidak jelas (majhul), baik yang muthlak, seperti pernyataan seseorang: “Saya menjual barang dengan harga seribu ringgit,” tetapi barangnya tidak diketahui secara jelas, atau seperti ucapan seseorang: “Aku jual keretaku ini kepadamu dengan harga sepuluh juta,” namun jenis dan sifat-sifatnya tidak jelas. Atau bisa juga karena ukurannya tidak jelas, seperti ucapan seseorang: “Aku jual tanah kepadamu seharga lima puluh ribu”, namun ukuran tanahnya tidak diketahui.

Ketiga: Jual-beli barang yang tidak mampu diserah terimakan. Seperti jual beli budak yang kabur, atau jual beli kereta yang dicuri. Ketidak jelasan ini juga terjadi pada harga, barang dan pada akad jual belinya.

Ketidakjelasan pada harga dapat terjadi karena jumlahnya, seperti segenggam Dinar. Sedangkan ketidak jelasan pada barang, yaitu sebagaimana dijelaskan di atas. Adapun ketidak-jelasan pada akad, seperti menjual dengan harga 10 Dinar bila kontan dan 20 Dinar bila diangsur, tanpa menentukan salah satu dari keduanya sebagai pembayarannya.

Syaikh As-Sa’di menyatakan: “Kesimpulan jual-beli gharar kembali kepada jual-beli ma’dum(belum ada wujudnya), seperti habal al habalah dan as-sinin, atau kepada jual-beli yang tidak dapat diserahterimakan, seperti budak yang kabur dan sejenisnya, atau kepada ketidak-jelasan, baik mutlak pada barangnya, jenisnya atau sifatnya.”

  1. Gharar yang diperbolaehkan

Jual-beli yang mengandung gharar, menurut hukumnya ada tiga jenis:

[1]. Yang disepakati larangannya dalam jual-beli, seperti jual-beli yang belum ada wujudnya (ma’dum).

[2]. Disepakati kebolehannya, seperti jual-beli rumah dengan pondasinya, padahal jenis dan ukuran serta hakikat sebenarnya tidak diketahui. Hal ini dibolehkan karena kebutuhan dan karena merupakan satu kesatuan, tidak mungkin lepas darinya.

Ibnul Qayyim mengatakan: “Tidak semua gharar menjadi sebab pengharaman. Gharar, apabila ringan (sedikit) atau tidak mungkin dipisah darinya, maka tidak menjadi penghalang keabsahan akad jual beli. Karena, gharar (ketidak jelasan) yang ada pada pondasi rumah, dalam perut hewan yang mengandung, atau buah terakhir yang tampak menjadi bagus sebagiannya saja, tidak mungkin lepas darinya. Demikian juga gharar yang ada dalamhammam (pemandian) dan minuman dari bejana dan sejenisnya, adalah gharar yang ringan. Sehingga keduanya tidak mencegah jual beli. Hal ini tentunya tidak sama dengan ghararyang banyak, yang mungkin dapat dilepas darinya.”

Dalam kitab lainnya, Ibnul Qayyim menyatakan, terkadang, sebagian gharar dapat disahkan, apabila hajat mengharuskannya. Misalnya, seperti ketidaktahuan mutu pondasi rumah dan membeli kambing hamil dan yang masih memiliki air susu. Hal ini disebabkan, karena pondasi rumah ikut dengan rumah, dan karena hajat menuntutnya, lalu tidak mungkin melihatnya.

Dari sini dapat disimpulkan, gharar yang diperbolehkan adalah gharar yang ringan, atau ghararnya tidak ringan namun tidak dapat melepasnya kecuali dengan kesulitan. Oleh karena itu, Imam An-Nawawi menjelaskan bolehnya jual beli yang ada ghararnya apabila ada hajat untuk melanggar gharar ini, dan tidak mungkin melepasnya kecuali dengan susah, atau ghararnya ringan.

Gharar yang masih diperselisihkan, apakah diikutkan pada bagian yang pertama atau kedua? Misalnya ada keinginan menjual sesuatu yang terpendam di tanah, seperti kacang tanah, bawang dan lain-lainnya.

Para ulama sepakat tentang keberadaan gharar dalam jual-beli tersebut, namun masih berbeda dalam menghukuminya. Adanya perbedaan ini, disebabkan sebagian mereka –diantaranya Imam Malik- memandang ghararnya ringan, atau tidak mungkin dilepas darinya dengan adanya kebutuhan menjual, sehingga memperbolehkannya. Dan sebagian yang lain di antaranya Imam Syafi’i dan Abu Hanifah- memandang ghararnya besar, dan memungkinkan untuk dilepas darinya, sehingga mengharamkannya.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah dan Ibnul Qayyim merajihkan pendapat yang membolehkan, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah menyatakan: “Dalam permasalahan ini, madzhab Imam Malik adalah madzhab terbaik, yaitu diperbolehkan melakukan jual-beli perihal ini dan semua yang dibutuhkan, atau sedikit ghararnya; sehingga memperbolehkan jual-beli yang tidak tampak di permukaan tanah, seperti wortel, lobak dan sebagainya”.

Sedangkan Ibnul Qayyim menyatakan, jual-beli yang tidak tampak di permukaan tanah tidak memiliki dua perkara tersebut, karena ghararnya ringan, dan tidak mungkin di lepas.

Pada intinya bahwa tidak semua jual-beli yang mengandung unsur gharar dilarang. Permasalahan ini, sebagaimana nampak dari pandangan para ulama, karena permasalahan yang menyangkut gharar ini sangat luas dan banyak. Dengan mengetahui pandangan para ulama, mudah-mudahan Allah membimbing kita dalamtafaqquh fiddin, dan lebih dalam mengenai persoalan halal dan haram.

  1. RIBA
  2. Pengertian Riba

Riba secara bahasa bermakna: ziyadah (- tambahan). Dalam pengertian lain, secara linguistik riba juga berarti tumbuh dan membesar . Sedangkan menurut istilah teknis, riba berarti pengambilan tambahan dari harta pokok atau modal secara bathil. Secara juristikal, riba mengandung dua pengertian

  • Tambahan uang yang diberikan ataupun diambil dimana pertukaran uang tersebut dengan uang yang sama, misal dollar for dollar excange.
  • Tambahan nilai uang pada satu sisi yang sedang malkukan kontrak tatkla komoditas yang diperdagangkan secara barter itu pada jenis yang sama.

Ada beberapa pendapat dalam menjelaskan riba, namun secara umum terdapat benang merah yang menegaskan bahwa riba adalah pengambilan tambahan, baik dalam transaksi jual-beli maupun pinjam-meminjam secara bathil atau bertentangan dengan prinsip muamalat dalam Islam.

Mengenai hal ini Allah mengingatkan dalam firman-Nya:

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan harta sesamamu dengan jalan bathil.” (Q.S. An Nisa: 29)

“Hai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa-sisa (dari berbagai jenis) riba jika kamu orang-orang yang beriman. Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba) maka ketahuilah, bahwa Allah dan rasul-Nya akan memerangimu. Dan jika kamu bertaubat (dari pengambilan riba), maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak menganiaya dan tidak pula dianiaya.” (Q.S. Al Baqarah: 278-279)

  1. Hukum Riba

Larangan riba yang terdapat dalam Al Qur’an tidak ditu-runkan sekaligus, melainkan diturunkan dalam empat tahap:

Tahap pertama, menolak anggapan bahwa pinjaman riba yang pada zhahirnya seolah-olah menolong mereka yang memerlukan sebagai suatu perbuatan mendekati atau taqarrub kepada Allah .

“Dan sesuatu riba (tambahan) yang kamu berikan agar dia bertambah pada harta manusia. Maka riba itu tidak menambah pada sisi Allah. Dan apa yang kamu berikan berupa zakat yang kamu maksudkan untuk mencapai keridhaan Allah, maka (yang berbuat demikian) itulah orang-orang yang melipatgandakan (pahalanya).” (Q.S. Ar Rum: 39).

Tahap kedua, riba digambarkan sebagai suatu yang buruk. Allah mengancam memberi balasan yang keras kepada orang Yahudi yang memakan riba.

“Maka disebabkan kezhaliman orang-orang Yahudi, Kami haramkan atas mereka yang (memakan makanan) yang baik-baik (yang dahulunya) dihalalkan bagi mereka, dan karena mereka banyak menghalangi (manusia) dari jalan Allah, dan disebabkan mereka memakan riba, padahal sesungguhnya mereka telah dilarang daripadanya, dan karena mereka memakan harta orang dengan jalan yang bathil. Kami telah menyediakan untuk orang-orang yang kafir di antara mereka itu siksa yang pedih.” (Q.S. An Nisa: 160-161)

Tahap ketiga, riba diharamkan dengan dikaitkan kepada suatu tambahan yang berlipat ganda. Para ahli tafsir berpendapat, bahwa pengambilan bunga dengan tingkat yang cukup tinggi merupakan fenomena yang banyak dipraktikkan pada masa tersebut. Allah berfirman :

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan berlipat-ganda dan bertaqwalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapat keberuntungan.” (Q.S. Ali Imran: 130).

Tahap terakhir, Allah dengan jelas dan tegas mengharam-kan apa pun jenis tambahan yang diambil dari pinjaman. Ini adalah ayat terakhir yang diturunkan menyangkut riba.

“Hai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa-sisa (dari berbagai jenis) riba jika kamu orang-orang yang beriman. Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba) maka ketahuilah, bahwa Allah dan rasul-Nya akan memerangimu. Dan jika kamu bertaubat (dari pengambilan riba), maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak menganiaya dan tidak pula dianiaya.” (Q.S. Al Baqarah: 278-279)

  1. Dampak negatif Riba
    1. Dampak Ekonomi

Di antara dampak ekonomi riba adalah dampak inflatoir yang diakibatkan oleh bunga sebagai biaya uang. Hal tersebut disebabkan karena salah satu elemen dari penentuan harga adalah suku bunga. Semakin tinggi suku bunga, semakin tinggi juga harga yang akan ditetapkan pada suatu barang.

Dampak lainnya adalah bahwa hutang, dengan rendahnya tingkat penerimaan peminjam dan tingginya biaya bunga, akan menjadikan peminjam tidak pernah keluar dari ketergantungan, terlebih lagi bila bunga atas hutang tersebut dibungakan. Contoh paling nyata adalah hutang negara-negara berkembang kepada negara-negara maju. Meskipun disebut pinjaman lunak, artinya dengan suku bunga rendah, pada akhirnya negara-negara peng-hutang harus berhutang lagi untuk membayar bunga dan pokoknya. Sehingga, terjadilah hutang yang terus-menerus. Ini yang menjelaskan proses terjadinya kemiskinan struktural yang menimpa lebih dari separuh masyarakat dunia.

  1. Sosial Kemasyarakatan

Riba merupakan pendapatan yang didapat secara tidak adil. Para pengambil riba menggunakan uangnya untuk memerintah-kan orang lain agar berusaha dan mengembalikan misalnya, dua puluh lima persen lebih tinggi dari jumlah yang dipinjam-kannya. Persoalannya, siapa yang bisa menjamin bahwa usaha yang dijalankan oleh orang itu nantinya mendapatkan keuntungan lebih dari dua puluh lima percent? Semua orang, apalagi yang beragama, tahu bahwa siapapun tidak bisa memastikan apa yang terjadi besok atau lusa. Dan siapa pun tahu bahwa berusaha memiliki dua kemungkinan, berhasil atau gagal. Dengan menetapkan riba, berarti orang sudah memastikan bahwa usaha yang dikelola pasti untung.

  1. BATHIL
  1. Pengertian Bathil

Bathil (al-Bathil), berasal dari kata bathala, yabthulu yang berarti rusak, salah, palsu, tidah syah, tidak memenuhi syarat dan rukun, keluar dari kebenaran, terlarang atau haram menurut ketentuan agama. Kata batil yang merupakan lawan dari kata al-haq di dalam Al-Qur’an terdapat sebanyak 26 kali.

Kata batil memiliki pembahasan yang erat dan sangat berpengaruh dalam berbagai aspek dalam ajaran Islam secara gelobal antara lain:

Aspek Akidah, kebatilan bila menodai akidah seseorang, niscaya rusak dan sangat berbahaya. Ciri-ciri yang bisa merusak akidah adalah :

  • Syirik

Syirik termasuk salah satu bentuk kebatilan yang dapat mencemarkan akidah dan tergolong kedalam salah satu dosa besar yang tidak bisa diampuni ; sebagai mana firman Allah swt, “Sesungguhnya Allah tidak mengampuni dosa selain dari syirik itu bagi siapa yang dikehendaki-Nya…” (Q.S. An-Nisa (4) : 116).

Pencemaran akidah yang disebabkan syirik ini akan mengakibatkan amal-saleh yang dikerjakan menjadi batil. Hal ini sebagaimana firman Allah, “Dan kalau mereka mempersekutukan Allah, niscaya lenyaplah dari mereka amal yang telah mereka kerjakan” (Q.S. al-An’am (6) : 88)

  • Takhayul dan Khurafat.

Takhayul adalah segala kepercayaan dan pandangan terhadap perkara ghaib yang bersumber kepada khayalan, persangkaan-persangkaan atau perkiraan-perkiraan yang sama sekali tidak ada keterangannyadari al-Qur’an dan Hadis. Perbuatan ini termasuk bid’ah yakni kepercayaan-kepercayaan yang dibuat-buat atau yang diada-adakan dengan maksud tertentu.

Takhayul dan khurafat juga banyak berkembang dikalangan umat Islam, seperti menebak atau melihat nasib melalui garis-garis telapak tangan, bintang-bintang (zodiak) berdasarkan tanggal dan bulan kelahiranseperti bintang taurus, cancer, dan sebagainya. Kesemua ini juga merrupakan bagian dari perbuatan batil yang bukan saja merusak akidah tapi juga ibadah maupun muamalah.

  1. Hukum batil

Nabi Muhammad SAW bersabda : “orang yang membaca Al Qur’an akan memiliki quwwatul-furqan (kemampuan membedakan) antara yang benar dan salah, halah dan haram, legal dan ilegal di mata Allah SWT”

Lenyapnya sesuatu yang batil karna sebenarnya yang haq pasti akan menang. Allah SWT berfirman : “yang benar telah datang dan yang batil telah lenyap, sesumgguhnya yamg natil itu sesuatu yang pasti lenyap. (Al-Israa 81)

Firman Allah SWT : “sebenarnya Kami melontarkan yang haq kepada yang batil lalu yang haq itu menghancurkannya, maka dengan serta merta yang batil itu akan lenyap. Dan kecelakaanlah bagimu disebabkan kamu mensifati (Allah dengan sifat-sifat yang tak layak bagi-Nya)” (Al-Anbiya : 18)

Terbinasanya orang-orang yamg berbuat kebatilan dalam bentuk zalim, maka Allah SWT berfirman : “Dan sesungguhnya Kami telah membinasakan umat-umat sebelum kamu, ketika mereka berbuat kezaliman, padahal rasul-rasul mereka telah datang kepada mereka dengan membawa keterangan-keterangan yang nyata, tetapi meraka sekali-kalitidak hendak beriman. Demikian Kami memberi pembalasan kepada orang-orang yang berbuat dosa. Kemudian kaami jadikan kamu pengganti-pengganti (mereka) dimuka bumi sesudah mereka, supaya Kami memperhatikan bagaimana kamu berbuat.” (Yunus : 13-14)

  1. Contoh Jual Beli yang Batil

Jual beli dikatakan sebagai jual beli yang batal/batil apabila salah satu atau seluruh rukunnya tidak terpenuhi, atau jual beli itu pada dasar dan sifatnya tidak disyari’atkan, seperti jual beli yang dilakukan anak-anak, orang gila, atau barang yang dijual itu barang-barang yang diharamkan syara’, seperti bangkai, darah, babi, dan khamar.

Jenis-jenis jual beli yang batil adalah:

  1. Jual beli sesuatu yang tidak ada. Para ulama fiqh sepakat menyatakan jual beli seperti ini tidak sah/batil. Misalnya, memperjualbelikan buah-buahan yang putiknya pun belum muncul di pohonnya atau anak sapi yang belum ada, sekalipun perut ibunya telah ada. Akan tetapi, Ibnu Qayyim al-Jauziyyah pakar fiqh Hambali, mengatakan bahwa jual beli yang barangnya tidak ada waktu berlangsungnya akad, tetapi diyakini akan ada dimasa yang akan datang sesuai dengan kebiasaannya, boleh diperjual belikan dan hukumnya sah. Alasannya adalah karena tidak dijumpai dalam al-Qur’an dan as-sunnah larangan terhadap jual beli seperti ini.
  2. Menjual barang yang tidak boleh diserahkan pada pembeli, seperti menjual barang yang hilang atau burung peliharaan yang lepas dan terbang di udara. Hukum ini disepakati oleh seluruh ulama fiqh dan termasuk kedalam kategori bai’ al-garar (jual beli tipuan). Alasannya adalah hadis yang diriwayatkan Ahmad ibn Hamdal, Muslim, Abu Daud, dan at-Tirmizi sebagai berikut: Jangan kamu membeli ikan di dalam air, karena jual beli seperti ini adalah jual beli tipuan.
  3. Jual beli yang mengandung unsur penipuan, yang pada lahirnya baik, tetapi ternyata dibalik itu terdapat unsur-unsur tipuan. Contohnya memperjualbelikan kurma yang ditumpuk. Di atasnya bagus-bagus dan manis, tetapi ternyata di dalam tumpukan itu banyak terdapat yang busuk.
  4. Jual beli benda-benda najis, seperti babi, khamar, bangkai, dan darah, karena semuanya itu dalam pandangan islam adalah najis dan tidak mengandung makna harta.
  5. Jual beli al-‘arbun (jual beli yang bentuknya dilakukan melalui perjanjian, pembeli membeli sebuah barang dan uangnya seharga barang diserahkan kepada penjual, dengan syarat apabila pembeli tertarik dan setuju, maka jual beli sah. Tetapi jika pembeli tidak setuju dan barang dikembalikan, maka uang yang telah diberikan pada penjual, menjadi hibah bagi penjual).

نَهَى رسول الله صلى الله عليه وسلم عَنْ بَيْعِ الْعُرْبُوْنَ.

Artinya: “Rasulullah SAW melarang jual beli ‘arbun. (HR. Ahmad ibn Hanbal, an-Nasa’i, Imam Malik dan Abu Daud).

  1. Memperjual belikan air sungai, air danau, air laut, dan air yang tidak boleh dimiliki seseorang; karena air yang tidak dimiliki seseorang merupakan hak bersama umat manusia, dan tidak boleh diperjual belikan. Hukum ini disepakati jumhur ulama dari kalangan Hanafiyah, Malikiyah, Syafi’iyah dan Hanabilah, dengan alasan hadis Rasulullah SAW yang mengatakan:

النَّاسُ شُرَكآءُ فِى ثَلَاثِ: الْمَاءُ وَالْكَـلَاءُ وَالنَّارُ.

Artinya: “Manusia itu berserikat dalam tiga hal, yaitu: air, api, dan rumput. (HR. Abu Daud dan Ahmad ibn Hanbal).

Akan tetapi, air sumur pribadi, menurut jumhur ulama, boleh diperjual belikan, karena air sumur merupakan yang milik pribadi berdasarkan hasil usahanya sendiri.[8]
BAB III

PENUTUP

Kesimpulan

Kata Maysir dalam bahasa Arab arti secara harfiah adalah memperoleh sesuatu dengan sangat mudah tanpa kerja keras atau mendapat keuntungan tanpa bekerja. Yang biasa juga disebut berjudi. Istilah lain yang digunakan dalam al-Quran adalah kata `azlam` yang berarti perjudian.

Maksud al-Gharar ialah “Ketidakpastian”. Maksud ketidakpastian dalam transaksi muamalah ialah: “Terdapat sesuatu yang ingin disembunyikan oleh sebelah pihak dan ianya boleh menimbulkan rasa ketidakadilan serta penganiayaan kepada pihak yang lain”. Menurut Ibn Rush maksud al-Gharar ialah: “Kurangnya maklumat tentang keadaan barang (objek), wujud keraguan pada kewujudkan barang, kuantiti dan maklumat yang lengkap berhubung dengan harga. Ia turut berkait dengan masa untuk diserahkan barang terutamanya ketika wang sudah dibayar tetapi masa untuk diserahkan barang tidak diketahui”. Ibn Taimiyah menyatakan al-Gharar ialah: “Apabila satu pihak mengambil haknya dan satu pihak lagi tidak menerima apa yang sepatutnya dia dapat”.

Riba secara bahasa bermakna: ziyadah (- tambahan). Dalam pengertian lain, secara linguistik riba juga berarti tumbuh dan membesar . Sedangkan menurut istilah teknis, riba berarti pengambilan tambahan dari harta pokok atau modal secara bathil. Secara juristikal, riba mengandung dua pengertian

  • Tambahan uang yang diberikan ataupun diambil dimana pertukaran uang tersebut dengan uang yang sama, misal dollar for dollar excange.
  • Tambahan nilai uang pada satu sisi yang sedang malkukan kontrak tatkla komoditas yang diperdagangkan secara barter itu pada jenis yang sama.

Bathil (al-Bathil), berasal dari kata bathala, yabthulu yang berarti rusak, salah, palsu, tidah syah, tidak memenuhi syarat dan rukun, keluar dari kebenaran, terlarang atau haram menurut ketentuan agama. Kata batil yang merupakan lawan dari kata al-haq di dalam Al-Qur’an terdapat sebanyak 26 kali.

DAFTAR PUSTAKA

Al-Ghozali, Benang Tipis Antara Halal dan Haram, Putra Pelajar, Surabaya. 2002.

Al Majmu’ Juz 13 hal. 46

Dr. Yusuf Qardhawi. 2002. Halal Haram dalam Islam. Era Intermedia. Solo

  1. Muslim

http://id.harunyahya.com/artikel/29785/ayat—ayat-

http://portal.hayatulislam.net/ , Paradigma Ekonomi Islam, M. Shiddiq al-Jawi. Publikasi 28/04/2005.

http://www.muamalat-institute.com/ , Pengertian Ekonomi Islam, Cuplikan dari Buku Saku Lembaga Bisnis Syariah, terbitan PKES

Rahman. afjalur.1996.Doktrin Ekonomi Islam.Yogyakarta:PT Dana Bhakti Wakaf

Tinggalkan komentar